Kapitalisme Dalam Perspektif Sosio-Kultural Jawa-isme ( Study Empiris Feodalisme ) Kapitalisme Dalam Perspektif Sosio-Kultural Jawa-isme ( Study Empiris Feodalisme )

Suryono, S. Ag
Dalam kultur Jawa ada istilah anggah-ungguh dalam ucapan, dan perbuatan, walaupun tidak ada larangan untuk bebas berpikir. Perbedaan konsep dalam alam pikiran orang Jawa dapat diredam dengan musyawarah untuk sepakat dan sepakat untuk tidak bersepakat, artinya, tanpa kehilangan idealismenya, orang Jawa dapat menerima keputusan mayoritas walaupun bertentangan dengan pikirannya sendiri. Etika dalam bertukar pikiran harus dikedepankan bagi orang Jawa, dari pada sekedar memenangkan argumentasinya, karena paradigma orang Jawa lahir dari perpaduan antara perasaan dan kecerdasan. Bila orang Jawa dikondisikan dengan tuntutan demokrasi, sedangkan dia dalam posisi punya kekuasaan, maka demokrasi dan musyawarahnya adalah untuk menyamakan persepsi, artinya semua orang harus sama persepsinya dengan dia yang saat ini sedang berkuasa
Ketahanan untuk meredam emosional adalah kelebihan orang Jawa, walaupun hal semacam itu akan menjadi embrio karakter yang otoriter bila orang Jawa mempunyai posisi kekuasaan. Kebiasaan prihatin dalam tradisi Jawa, maksudnya seseorang diharamkan hidup enak sebelum ambisi kesuksesannya tercapai, dapat menumbuhkan dendam sosial seumur hidup, bila nantinya sukses dan ambisinya tercapai. Dia akan memandang orang lain lebih rendah derajatnya dan pantas untuk ditindas, sebagaimana dia dahulu, sebelum sukses hidupnya susah, prihatin ( perih di bathin ) tertindas, tersingkirkan. Maka setelah sukses, orang Jawa ingin juga merasakan bagaimana rasanya menindas orang lain. Dari latar belakang seperti inilah yang nantinya akan melahirkan kaitalisme dan feodalisme dalam kultur Jawa.
Kita juga tidak mengingkari sifat-sifat orang Jawa yang positif, seperti gotong royong,tenggang rasa, dan lain sebagainya. Tapi harus diingat, bahwa etika yang lahir dari kebudayaan akan berbeda dengan ajaran akhlak yang merupakan wahyu dan dicontohkan ( uswatun hasanah ) oleh Rasulullah SAW.
Muhammad SAW adalah pemimpin yang dilahirkan di alam padang pasir yang tandus dan gersang, komunitas Arab yang senang merantau dan berniaga, dan lengkap dengan tradisi jahiliyahnya yang penuh dengan bid’ah dan khurafat, dengan kehendak dan pertolongan Allah SWT, beliau adalah pribadi yang agung berkharisma dan orang yang paling jujur. Yang dibawa Muhammad SAW adalah wahyu Allah SWT
Seorang muslim yang sabar dengan kesadaran merasa bersama Allah, akan menemukan kedamaian bathin karena mata hatinya ikhlas menerima ketentuan apa saja yang datangnya dari Allah. Sebaliknya, orang Jawa yang sabar karena meredam emosi, hasilnya hanya akan mengakibatkan stabilitas mental munafik dan mengarah kepada karakter seorang psikopat.
Perjalanan panjang yang penuh kepedihan dan keprihatinan dalam hidup orang Jawa untuk menuju ambisi kesuksesannya, akan melahirkan seorang penguasa otoriter yang feodal-kapitalis. Kita bisa menengok sejarah raja-raja pendiri dinasti di tanah Jawa, Ken Arok contohnya. Dalam literatur sejarah, tercatat bahwa pendiri kerajaan Singosari yang awalnya hanyalah seorang yang berkasta sudra, dengan kegigihan dan dendam kesenjangan sosial-politik di masanya, dia mampu mendapatkan kekuasan walaupun harus dengan bertapa untuk mendapatkan bahan keris pusaka, lalu melakukan tindakan kriminal dan kudeta di kadipaten Tumapel. Strategi politik Ken Arok akhirnya menjadi kaidah dan rumus politik bagi kekuasaan raja-raja Jawa setelahnya, yang membawa banyak korban untuk setiap tumbal revolusi alih kekuasan dalam Negara.
Dalam perjalanan sejarah Singosari, ulah Ken Arok di kemudian hari melahirkan oposisi dari kalangan dunia persilatan. Konon khabarnya, Mpu Gandring yang membuat keris pesanan Ken Arok juga wafat di tangan Ken Arok oleh keris itu. Akhirnya murid-murid Mpu Gandring sampai tiga generasi ( Mpu Balu, Mpu Sasi dan Mpu Ranubaya ) sangat benci dengan para penguasa Singosari ( keturunan Ken Arok )
Pada akhir menjelang keruntuhan Singosari, Mpu Ranubaya menciptakan pedang naga puspa kresna untuk muridnya ( Arya Kamandanu ) yang nantinya menjadi panglima perang kerajaan Majapahit. Padahal Arya Kamandanu adalah putra Mpu Hanggareksa, saudara seperguruan Mpu Ranubaya, namun Mpu Hanggareksa lebih memilih dekat dengan penguasa Singosari. Rupanya Arya Kamandanu lebih dekat dan mewarisi idealisme paman gurunya daripada ayahnya sendiri.
Menurut riwayat, di masa tuanya Arya Kamandanu memilih ‘uzlah ( menyepi ) di gunung Arjuna, mengundurkan diri dari jabatannya dan mengasuh putranya dengan tangannya sendiri. Di gunung Arjuna itulah, Gajah Mada, yang waktu itu seorang pengembara dipertemukan Sang Hyang Widhi dengan mantan panglima perang Majapahit tersebut, untuk selanjutnya estafet kepemimpinan dalam tradisi kanuragan, di ijazahkan di tempat itu, dan selanjutnya Gajah Mada siap memasuki Majapahit. Dan sejarah menyebutkan bahwa Gajah Mada mampu mengantarkan Majapahit sampai pada puncak kejayannya.
Begitulah sejarah revolusi di tanah Jawa yang melahirkan kultur feodalisme dan kapitalisme dengan kekuasaan otoriter yang berkedok demokrasi kemunafikan, dan akhirnya penyelamatan nasib orang banyak menjadi tidak penting, ajaran agama juga tidak mampu berhadapan dengan kultur kekuasan Jawa yang sudah mendarah daging. Hal ini terbukti dengan metode dakwah yang diterapkan Wali Songo, melalui sinkretisasi Islam – Jawa dan Jawa – Islam. Akhirnya memang sudah menjadi jatahnya rakyat untuk tetap tertindas. Untuk selanjutnya, menjadi sah apa yang di konsepkan Karl Max, bahwa hidup adalah pertentangan kelas, yaitu kelas borjuis dan kelas proletar, kelas ningrat dan kelas melarat.
Dalam era globalisasi sekarang ini, walaupun kultur Jawa sudah banyak terpengaruh virus teknologi dan liberalisasi, tidak serta merta orang Jawa kehilangan identitasnya. Untuk urusan perut, pastilah orang Jawa lulus seleksi uji kompetensi keprihatinan, tapi dalam urusan kemenangan, orang Jawa tidak akan pernah mau mengalah walaupun secara lahiriyahnya kalah. Roh idealisme orang Jawa akan selalu gentayangan walaupun jasadnya telah mati. Sukma atau badan halus seseorang tidak pernah mati dalam kepercayan orang Jawa. Adanya kuntilanak, genderuwo, jaelangkung dan jenis setan- setan jelek lainnya adalah symbol dendam idealisme dari pengembaraan jiwa yang tidak pernah berakhir.
Berbagai jenis pusaka dan bermacam-macam tempat keramat adalah bagian dari ekspresi aktivitas spiritual masyarakat Jawa. Dari yang bentuknya mantra, batu cincin, keris, kuburan, pohon besar dan lain-lainnya, merupakan media tawassul bagi penyaluran energi- metafisik untuk kepentingan tertentu. Hal ini tentunya tidak perlu divonis haram syar’i, karena semua itu adalah masalah kebudayaan dan bukan tuntunan syari’at.
Mohon ma’af untuk kalangan Wahabi atau salafy, yang memang pantas untuk dikatakan sebagai madzhab kurang cerdas dalam menyikapi realitas kebudayaan. Mereka memvonis haram untuk hal-hal yang berbau mistik dan tahkhayul, dengan dalih penegakkan tauhid dan memberantas bid’ah. Kalau sinkretisasi agama dan budaya dianggap haram dan bid’ah, maka Islam tidak akan dapat diterima di luar Arab, dan hal itu justru akan bertentangan dengan misi diutusnya Rasulullah sebagai rahmatan lil ‘alamin.
Madzhab Wahabiyah tidak pantas disebut sebagai golongan pembaharu Islam, atau Islam modern, bila menolak sinkretisasi budaya dan agama. Lebih tepatnya mungkin bisa dikatakan sebagai madzhab jadul ( jaman doeloe ),sektarian, dan radikal. Sungguh memalukan bagi kalangan Wahabi, jika mereka masih mengaku mewarisi ajaran Ibnu Taimiyah dan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Ibnu Taimiyah, Muhammad Abduh, atau pendiri Wahabiyyah ( Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab ) sekalipun, sungguh tidak pernah menganjurkan para pengikutnya untuk menghancurkan makam-makam para sahabat Nabi, memusuhi orang-orang yang membaca sholawat Dalaailul khoirot, dan mencaci-maki golongan tarekat.
Ratu pantai selatan atau sebutan Nyai Roro Kidul, selain sebagai mitos relistis- empiris, mungkin juga adalah manifestasi kosmos mikro manusia Jawa dalam urusan ketergantungan pada sesuatu Dzat di luar dirinya sebagai penolong, karena masyarakat Jawa tidak mampu lagi mengatasi realitas dalam dirinya sendiri. Dalam konsep tentang eksistensi dan esensi kemanusiaan, orang jawa meyakini bahwa seseorang lahir ke dunia ini punya 4 ( empat ) saudara kembar yang berbarengan waktu lahir ( sedulur papat, kelima pancer ). Konsep saudara kembar mungkin hanyalah qiyas dari empat unsur alam ( tanah, api, udara dan air ), atau empat shahabat Nabi SAW ( Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali ), atau juga qiyas dari empat jenis nafsu ( amarah, syaithoniyah, lawamah, dan muthmainnah ). Yang jelas, manusia dalam pandangan orang Jawa adalah kesempurnaan komponen lahir dan bathin.
Terlalu peliknya memahami psikologis manusia Jawa, akhirnya akan mengantarkan kita pada pengenalan jati diri manusia yang mengarah kepada kesadaran transendental. Namun masih ada sisi lain dari dinamika kehidupan wong Jowo yang harus diberi perhatian lebih, yaitu sosio-kultural tingkat bawah yang merupakan mayoritas dalam strata sosial.
Bagi kalangan wong alit ( rakyat jelata ), masa ketertindasan yang tidak jelas kapan masa berakhirnya, memunculkan konsep satrio piningit atau Ratu Adil sebagai harapan dan dendam dari realitas kesenjangan sosio-kultural. Wajar saja untuk dipahami, bahwa umumnya manusia masih ingin bertahan hidup bila masih punya harapan. Banyaknya contoh kejadian bunuh diri dalam berita kriminal, adalah telah matinya harapan sebelum seseorang mati bunuh diri. Bila keputus-asaan menjadi keseragaman masyarakat, maka mereka akan menemukan kecerdasan, yaitu : lebih baik penguasa yang mati daripada rakyat banyak yang mati. Dengan fakta seperti inilah, hendaknya dipahami bahwa revolusi sosial adalah ancaman terbesar bagi penguasa otoriter yang Status Quo.
Sebenarnya kalau para penguasa mau adil dalam memerintah dan ada keberpihakan kepada rakyat, insya Allah cita-cita masyarakat Jawa yang gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo akan terwujud, dan nantinya akan tercapai seselarasan lahir bathin, karena wong Jowo juga punya etika andap asor dan balas budi bagi siapa saja yang mau menjadi mitra kehidupannya. Masyarakat bawah terlalu lugu dan polos untuk dibodohi dan didzolimi oleh penguasa, tapi bukan berarti sebagai objek kapitalisme.

Read Users' Comments (0)

0 Response to "Kapitalisme Dalam Perspektif Sosio-Kultural Jawa-isme ( Study Empiris Feodalisme ) Kapitalisme Dalam Perspektif Sosio-Kultural Jawa-isme ( Study Empiris Feodalisme )"

Posting Komentar